Info Budidaya Terpadu 2019

Semangat Menggebu diSepanjang Jalur Pendakian Gunung Merbabu

Semangat Menggebu diSepanjang Jalur Pendakian Gunung Merbabu - Selamat datang di blog BUDIDAYA !!, Info kali ini adalah tentang Semangat Menggebu diSepanjang Jalur Pendakian Gunung Merbabu !! Semoga tulisan singkat dengan kategori JALUR PENDAKIAN !! PENDAKIAN !! ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Semangat Menggebu diSepanjang Jalur Pendakian Gunung Merbabu ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->



Gambar : Foto bersama di Gunung Merbabu


Salam rimba !

PECINTA KALDERA - Selamat siang sahabat Pecinta Kaldera. Lama sudah Pecinta Kaldera tidak melakukan posting. Dampaknya mbah google jadi kurang dekat dengan Pecinta Kaldera. Hal itu membuat ane jadi merana. Tapi, kali ini ane akan memberikan postingan tentang trip ane yang terbaru.


Pagi itu Solo sudah menguapkan seluruh embun yang membasahi dedaunan padi didepan rumah berwarna merah jambu. Rumah untukku tidur. Tetapi, bukan rumahku ataupun rumah mereka teman-temanku. Ya, mereka yang satu atap denganku semenjak aku tinggal dikota yang kental dengan tradisi jawanya. Surakarta atau Solo.

Sebenarnya bukan soal rumah merah jambu atau tentang kota Solo yang ingin aku tuliskan dalam beberapa paragraf selanjutnya. Melainkan Semangat Menggebu  disepanjang Jalur Pendakian Gunung Merbabu. Ya. Artikel tersebut yang akan aku kupas tuntas sesuai alur yang sebenarnya dan pastinya dengan cara pandangku.

Langsung saja kita simak pengalaman kami mendaki digunung  cantik dan eksotis, gunung Merbabu. Sebenarnya setiap gunung memiliki keunikan dan keelokannya sendiri. Tak terkecuali gunung  Merbabu. Temanku Nur Adi Wibowo lah yang pertama kali mengajakku mendaki gunung yang terletak pada koordinat 7˚30 LS 110˚24 BT/7,5˚ LS 110,4˚BT dan juga merupakan gunung stratovolcano. Artinya gunung ini masih ada kemungkinan aktif kembali seperti gunung Sindoro. Secara administratif gunung Merbabu terletak di wilayah Kabupaten Magelang dilereng sebelah barat, Kabupaten Boyolali disebelah timur dan sebelah selatan, sedangkan dibagian utara Kabupaten Salatiga dan Semarang.


Kalau saja rencana pendakian ini terwujud, ini berarti pendakian keempatku ke gunung Merbabu. Pagi harinya 14 Juni 2014 Adi begitu orang-orang memanggilnya menghubungiku kalau rombongannya sudah berangkat dari Purwokerto sekitar pukul 05.00 WIB. Aku hanya menjawab agar mereka berhati-hati dijalan. Karena perjalanan dari Purwokerto menuju Boyolali lumayan jauh dan memakan waktu. Terlebih mereka baru sekali ini datang  ke Boyolali. Ahirnya sekitar pukul 13.00 WIB Adi menghubungiku kalau mereka hampir sampai di Boyolali. Aku menyuruh mereka untuk beristirahat terlebih dahulu di Basecame Pak Parman. Begitu para pendaki menyebutnya. Itu karena rumah pak Parman digunakan untuk Pos bagi para pendaki melaporkan diri. Selain untuk beristirahat juga untuk melakukan proses aklimatisasi untuk mereka.

Singkat cerita aku yang terpisah sendiri dari rombongan karena aku berangkat dari Solo. Sekitar pukul 14.00 WIB aku selesai packing perlengkapanku mendaki dan logistik. Get ready for the next trip. Hehehe. Sekitar pukul 15.40 WIB aku sampai di Selo dan dilanjutkan menuju rumah Pak Parman. Namun, sebelum makam aku dicegat beberapa pemuda yang membuatku sedikit bingung. “Apa Basecamenya dipindah kesini ya?” tanyaku dalam hati. “Mas, sekarang motor pendaki harus dititipkan disini mas” salah satu pemuda berbicara didepanku. “Loh, kenapa begitu mas? Ini kan belum sampai di Basecame” dengan nada yang sedikit tinggi. Mengingat kakiku yang masih sakit pasca tertabrak mobil box. Dengan tegas pemuda itu menjawab “iya mas, sekarang semua kendaraan pendaki dititipkan disini. Kalau tidak mau. Silaahkan putar balik kendaraan panjenengan mencari Basecame lain”. “Loh. Nggak bisa mas teman-teman saya sudah lama menunggu di Basecame. Sudah saya parkir disini saja. Soalnya saya buru-buru” jawabku agak kurang puas dengan keadaan ini.

 1. Basecame
Setelah memarkir kendaraan, aku mengganti pakaian siap tempur dan menuju Basecame. Disela perjalanan aku menemui seorang pria paruh baya dengan baju yang rapi dan mengenakan peci hitam di kepalanya. “Ngapunten pak. Menopo nggih radinan meniko dipun tutup mboten angsal dipun lampahi?” (maaf pak. Kenapa ya jalanan itu ditutup tidak boleh dilewati?). Pria paruh baya tersebut memandangku dan menjawab “panjenengan badhe minggah?” (Kamu mau keatas?). “Nggih Pak”(iya pak) jawabku singkat. “Oh, saniki trahe radinan teng daleme Pak Parman dipun tutup kagem poro pendaki mas. Sebabipun wonten pekerjaan jalan” (oh, sekarang memang  jalan menuju rumah Pak Parman ditutup untuk para pendaki mas. Sebab ada pekerjaan jalan) terang bapak tersebut. “Nggih sampun Pak. Monggo” (ya sudah Pak. Mari) kemudian aku beranjak berjalan di depan pria itu. Langkah demi langkah menapaki jalanan desa yang  selebar 5 langkah orang dewasa saja. Langkah semakin aku percepat agar lekas sampai dirumah Pak Parman. Di kanan kiri jalan aku disuguhi pemandangan yang lumayan memanjakan mata. Hamparan perkebunan warga yang tertata rapi.

Sedikit lagi aku sampai di Basecame, rumah Pak Parman. Dari kejauhan terlihat pria muda yang sudah tak asing lagi. Dialah Nur Adi Wibowo, teman baik yang selalu memotivasiku untuk menjadi lebih baik lagi. Kaos pendek berkerah warna hitam yang ia kenakan serasi dengan topi yang melekat menutupi rambut ikalnya. Seakan sudah sangat siap menjajal sensasi treking gunung Merbabu. Sambutan hangat aku terima darinya. Uluran tangan kemudian menggenggam erat tanganku. Lalu menariknya dan membuat badanku agak condong kedepan dan sedikit tepukan dipunggung. Senyumnya yang lebar bagai penantian seorang keluarga terpuaskan oleh keahadiranku. Hatiku senang merasakan hal itu.

Gambar : Basecame Gunung Merbabu via Selo

“Yang lain mana wa?” begitu aku menyapanya. “Udah duluan wa, soalnya sama cewek-cewek” jawabnya. “Oh, ya sudahlah wa. Sorry loh aku lama” sambil meletakkan carrier yang aku gendong. “Nyantai wa” dia menjawab sekenanya. Obrolan terus berlanjut berseling dengan beberapa kegiatan yang sudah biasa kami lakukan sebelum melakukan pendakian. Seperti : mengisi botol dengan air mineral, melapor pada pihak Basecame, Packing ulang barang bawaan dan lain sebagainya.

Sekitar pukul 16.45 kami putuskan untuk memulai pendakian. Adi sendiri berjalan di depan dengan jeda yang lumayan jauh denganku. Sedangkan aku masih membenarkan tali sepatu dan letak manset tangan. Tetapi, tak selang berapa lama aku mendapatinya sedang beristirahat diparit. Nafasnya terlihat memburu. Begitu juga dengan nafasku yang notabennya seorang perokok. Biasanya hal ini terjadi diawal pendakian.Masih dalam tahap penyesuaian terhadap medan yang dilalui. Padahal medan yang dilalui masih lumayan landai. Seteleh beristirahat sejenak, kami melanjutkan pendakian untuk mengejar rombongan kami di depan sebelum hari mulai gelap. Aku takut mereka salah memilih jalur memotong langsung menuju hutan heterogen yang agak rapat. Vegetasi yang ada disepanjang jalur tersebut menutupi jalur pendakian. Sehingga apabila dilewati oleh orang yang belum pernah melewatinya, mereka akan mengira kalau mereka tersesat. Ahirnya aku dan Adi melewati pos 1 dan tak kunjung bertemu rombongan kami. Tapi, ditengah perjalanan. Sekelompok kera bergelantungan diatas pepohonan. Sejenak kami berdua menikmati suasana itu. Karena hari sudah bertambah redup kami putuskan untuk kembali berjalanan.

 2. Pos 1

 
Gambar : Pos 1 disiang hari

Kami terus mempercepat langkah agar lekas bertemu mereka. Tak berapa lama terdengar suara saling bersahut-sahutan memecah senja yang mulai kabur memudar diganti malam. “Hei!” lantang teriakan mereka mengagetkanku. Ternyata itu rombongan kami. Adi menyalami semua anggota dan aku masih berada di belakangnya. Aku bertanya pada rombongan yang ada dibelakang. Kukira mereka satu rombongan bersama rombongan Adi. Ternyata mereka rombongan berbeda yang bergabung dengan rombongan Adi. Kemudian aku mengikuti adi menyalami mereka satu persatu dan masing-masing memperkenalkan diri. Gegap gempita suasana saat itu hingga aku sulit membedakan siapa yang sedang berbicara. “Semangat anak muda” gumamku dalam hati hehehe. Kami mulai melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutrnya, pos 2. Tapi, disela perjalanan pos 1 menuju pos 2 kami berhenti untuk melaksanakan sholat maghrib. Setelah semua anggota melaksanakan sholat maghrib, kami meneruskan perjalanan menuju pos 2.

 3. Pos 2

Gambar : Arif dan Suhri berdiri di depan plang Pos 2
 
Aku hanya tersenyum melihat dan mendengar canda tawa mereka. Aku sendiri berada diposisi paling belakang dirombongan sebagai sweaper. Aku biarkan mereka berteriak, tertawa, dan bercanda gurau satu sama lain. Karena hal itu bisa mendongkrak semangat masing-masing individu. “Ayo kawan, kalian belum habis sampai disini!” dukungku dalam hati. Karena aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Jadi aku memilih untuk diam dan sesekali memberi semangat. Walau baru pertama mereka mendaki Gunung Merbabu, mereka terus berjalan dengan semangatnya. Sebenarnya aku tau tubuh mereka sudah kelelahan. Tapi, semangat mereka yang membuat mereka bertahan dan terus berjalan. 

“Aku suka orang-orang ini...!!!”


 4. Watu Tulis

Gambar : Watu Tulis disiang hari

Sekian lama kami berjalan, pos 2 mampu kami gapai dan melanjutkan ke Watu Tulis. Sesampainya di Watu Tulis kembali mereka bercanda gurau dan saling berbagi minuman, madu, dan juga plester koyo. Aku masih diam dan tak banyak bicara. Hanya sesekali menjawab pertanyaan dari teman-teman yang menanyakan masih seberapa jauh jarak menuju camp Sabana 1. Karena kita beristirahat terlalu lama, badanku mulai merasakan tikaman angin dingin. Aku berjalan mondar-mandir disekitar tempat mereka duduk untuk menghangatkan badan agar tidak kedinginan.

5. Sabana 1 

Gambar : Camp kami di Sabana 1
Karena melihat tingkahku tersebut. Salah satu anggota mengajak kami melanjutkan perjalanan Sabana 1. Kami berniat mendirikan camp disana. Tapi, sebelumnya aku sudah memberi tau kalau ini adalah trek paling sulit yang harus dilewati. Sehingga aku menyuruh mereka berhati-hati. Baru sekitar 1/3 melewati tanjakan tersebut mereka terliat kesulitan karena kemiringan dan medan yang licin , rusak akibat erosi. Ahirnya aku putuskan untuk mendahului langsung menuju Sabana 1 bersama Adi untuk mendirikan Camp. Pertimbanganku terburu-buru menuju Sabana 1 untuk mencari lapak untuk mendirikan tenda. Karena kulihat rombongan lain sudah mulai meringsek naik. Aku takut kalau nanti rombonganku tak kebagian lapak. Setelah aku sampai di Sabana 1, lekas aku titipkan carrierku di tenda pendaki lain yang lebih dulu membuka lapak.
Aku kembali turun dan Adi mengikutiku dari belakang. Kami turun untuk membantu teman-teman yang sekiranya butuh bantuan sekaligus mengambil sebotol air mineral yang lupa aku bawa naik. Setelah memeriksa semua anggota lengkap dan dalam keadaan tak menghawatirkan. Aku kembali naik untuk mendirikan tenda di spot yang sudah aku pilih sebelumnya. Sekali lagi ini bukan soal siapa yang menjadi pahlawan atau menjadi pecundang. Tapi, ini lebih condong kearah keselamatan dan kenyamanan masing-masing anggota.

Aku dan Adi mendirikan tenda dibantu beberapa anggota pria lainnya. Sementara anggota putri hanya terbaring lemas memakan bekal yang mereka bawa. Kasihan mereka sepertinya kelaparan dan kedinginan karena angin bertiup sedikit kencang dan suhu mulai turun. Bahu membahu kami mendirikan tenda dan memasukkan barang bawaan masing-masing kedalam tenda. 2 tenda kapasitas 4 orang dan 1 tenda kapasitas 2 orang kami isi 13 orang. Aku berada satu tenda dengan Suhri dan adi. Suhrilah orang pertama yang ku tau namanya. Selanjutnya kami memasak mie instan yang kami bawa. Namun, kompor yang aku bawa mendadak bocor dan tidak dapat digunakan. Dua kompor yang mereka bawa juga bocor satu. Sah, sekarang hanya satu kompor yang dapat digunakan untuk memasak. Hal itu tentu saja mengahambat proses memasak. Dampaknya semua anggota putri tepar semua setelah memakan bekal nasi matang yang mereka bawa. Karena terlalu lama menunggu mie instan matang.

Disela-sela proses memasak ada satu hal konyol yang terjadi. Kompor portable yang tadinya bocor dinyalakan. Alhasil api menyambar dan membakar bagian dalam tenda hingga robek agak lebar. Untung saja Adi mempunyai reflek yang bagus dan membuang kompor bersama gas keluar tenda dan hampir mengenai Awal yang berada diluar tenda. Awal. Ya, orang kedua yang aku kenal. Dia memiliki postur tubuh paling tinggi dan memiliki kulit yang putih. Kami bertiga (aku, Adi, Awal) cepat nyambung dalam mengobrol. Karena dia adalah orang Pekalongan. Selanjutnya kami ngopi-ngopi ria didalam tenda. Tentu saja dengan menghisap sebatang rokok. Sebenarnya aku tidak enak dengan mereka.Karena hanya aku saja yang seorang perokok. Tapi, apa boleh buat its me. “Maaf mas, aku merokok ya?” seperti kalimat permisi untuk Suhri. Ternyata mereka asik juga. Hingga pada pukul 02:00 WIB kami tidur.

Malam telah hengkang memanggil pagi membangunkan kami. Tapi, benar apa kataku. Kita tidak mungkin bisa melakukan summit attack pada pukul 04:00 WIB. Sekitar pukul 05:00 WIB kami baru bangun dan melaksanakan sholat subuh. Satu hal lagi membuatku tertunduk melihat ketulusan mereka dalam beribadah mengahadap sang Empunya hidup. Karena aku sendiri masih sangat dangkal dalam pengetahuan akan hal itu. Terima kasih teman, sudah memberiku pelajaran berharga. Rencana summit attack yang awalnya pukul 04:00 WIB. Sekarang mundur 1,5 jam dari jadwal semula. Apa boleh buat. Manusia hanya bisa berencana, Tuhanlah yang menentukan.

6. Sabana 2  dan Trek Menuju Puncak


Gambar : Sabana 2 disiang hari

Gambar : Trek Menuju Puncak Merbabu
Pukul 05:30 WIB kami memulai summit attack dengan membawa beberapa botol air mineral dan beberapa karbohidrat.Hanya seorang saja yang tinggal dan tetap berada didalam tenda karena terkena flu, dialah Suhri. Tampak jelas di depan mata jalur pendakian yang menyirat bak terlukis dengan sendirinya dilereng-lereng bukit. Masih dengan semangat yang sama mereka terus berjalan. Bahkan lebih dari sebelumnya. Disela-sela perjalanan kulihat mereka mengabadikan momen serta panorama yang ada menggunakan lensa kamera. Aku hanya melihatnya dari atas punggungan bukit. Aku merasakan  kesenangan yang sama. Kesenangan yang selalu aku rindukan tentang kebesaran Tuhan yang bisa kita nikmati.

Peluh terus mewarnai perjalanan, masih tetap semangat yang sama. Sesekali berhenti dan menghela nafas panjang-panjang. Kita beristirahat. Perjalanan menuju puncak terbagi menjadi beberapa rombongan kecil. Ketika melewati sabana 2 ada salah satu anggota yang memutuskan untuk turun kembali ke camp. Satu keputusan yang bijak telah dia ambil. Dialah Dania Banowati. Perjalanan menuju puncak merupakan waktuku mengenal satu persatu nama anggota.

Mereka adalah Gibran, Legina, Ari,Amalia,Arif,Fuji,Lia. Ahirnya aku mengenal mereka dengan cara alami dan tak memerlukan alur yang rumit. Mereka orang-orang dengan semangat membara. Aku berada paling depan dari rombongan dan tentunya pertama juga sampai dipuncak triangulasi. Kemudian disusul Adi, gadis strong Legina, dan Pria jenaka Gibran. Tak berapa lama anggota lain menyusul dibelakangnya.
Aku harap mereka tau dengan sendirinya kenapa banyak orang datang ke gunung. Kalau kata salah satu teman pendaki “jangan tanya kenapa kita suka mendaki gunung. Tapi datanglah ke Gunung dan temukan sendiri jawabannya disana”.

Puncak !

 Ya, kami sampai dipuncak. Kecuali 2 teman kami yang memang tidak bisa melanjutkan pendakian karena alasan yang mengharuskan mereka menunda berdiri di puncak. Puncak merupakan kepuasan tersendiri. Tapi, pulang dengan selamat adalah tujuan utama mendaki dan mutlak hukumnya. Dari sini kita bisa amelihat penampakan berbagai gunung seperti, Gunung Merapi, Gunung Sumbing, Gunung Lawu, Gunung Sindoro, Gunung  Ungaran, Gunung Senopati, Gunung Telomoyo, Bahkan Gunung Prau sekalipun.

Mereka sempatkan berfoto mengabadikan setiap momen yang ada. Dengan gaya mereka sendiri-sendiri. Dengan cara mereka sendiri. Aku juga sesekali ikut berfoto bersama mereka atau juga berfoto sendiri. Karena sayang sekali melewatkan momen seindah itu. Momen yang tidak bisa setiap hari kita bisa melihatnya. Dengan gaya narsis atau selfy atau gaya apapun. Itu sah-sah saja, karena berfoto bukanlah dosa dan siapa saja bisa mengambilnya. Karena gunung bukan milik seorang  atau milik kelompok. Gunung adalah milik kita semua yang wajib kita jaga dan mencintainya. Karena pada hakikatnya apa yang kita cintai harus kita jaga semampu kiata.

7. Puncak Kenteng Songo 3142 MDPL

Gambar : Puncak Kenteng Songo 3142 MDPL

Tempat kita berdiri saat ini bukanlah titik tertinggi gunung Merbabu. Karena titik tertinggi gunung Merbabu adalah Kenteng Songo 3142 MDPL. Sekitar 100 meter dari tempat kita berdiri. Nah, ini yang membuat mereka dilema besar antara melanjutkan ke Kenteng Songo atau kembali turun menuju camp. Cukup dengan salah satu celetuk salah satu anggota saja, kaki kembali melangkah menuju titik tertinggi 3142 MDPL.
Hanya sebentar saja kami sampai di Kenteng Songo, puncak sejati sekaligus titik tertinggi gunung Merbabu. Kembali lensa kamera menjepret setiap momen yang ada. Setelah puas menikmati suasana dan berfoto bersama, kami kembali menjejakkan kaki. Kali ini bukan untuk mengejar pun cak. Tapi, melangkah untuk kembali dengan selamat.

Bagian inilah yang sebenarnya memerlukan mental yang lebih. Karena trek puncak menuju camp Sabana 1 rata-rata memiliki kemiringan hampir 70˚ atau bahkan lebih. Sehingga kami harus berhati-hati ketika menuruninya. Menurutku untuk menghadapi trek dengan karakter seperti itu lebih nyaman dengan cara berjalan zig-zag (berjalan kekanan dan kekiri). Setelah menuruni bukit pertama dari puncak, kelompok terpisah kembali menjadi beberapa rombongan kecil. Aku, Ari, Lia,dan Amalia berada dibarisan paling belakang. Adi dan Awal berada didepan kami. Legina dan Puji berada dirombongan ketiga dari belakang, sedangkan Gibran dan arif berada dirombongan paling depan menuju camp.

Dorongan perut lapar dan panas yang mulai terasa menyentuh kulit memaksaku untuk turun lebih cepat. “Aku duluan ya, mau masak buat makan kita” sambil menuruni bukit kedua dari puncak. Kemudian aku tinggali rombongan paling belakang bekal air yang tersisa. Aku berjalan tanpa henti dan bertemu dengan rombongan Adi. Kemudian dijalan menurun terahir sebelum camp aku bertemu Legina dan Puji. Tapi, aku terus berjalan menuju sabana 1. Gibran, Arif, Suhri dan Dania sedang mengobrol disana. Aku lantas mencopot sepatuku dan melai menyalakan kompor portable untuk memasak air  dan dapat digunakan untuk menyeduh mie gelas,kopi, dan susu.

Sesi kedua memasak air untuk membuat sop sayur mayur. Agak lama menunggu sop matang. Karena kita tau sulit sekali mendapatkan air mendidih secara sempurna di gunung. Terlihat Puji dan Legina tiba dicamp. Ini giliranku bersantai ria menikmati segelas kopi ditemani hembus belaiaan sang bayu dan gumpalan kabut putih turun memngelus stepa yang ada. Di bawah naungan pohon bunga Edelweiss aku merasakan ketenangan. Sementara rombongan lainnya mulai sampai dicamp dan menambah keramaian dan hangatnya suasana. Dua juru masak kita (Dania dan Puji) masih sibuk merawat masakan mereka dengan berbagai kelucuan. Akupun ikut tertawa melihat tingkah jenaka mereka.
Kapan lagi suasana seperti ini akan kembali menyambangi diri. Hehehe. Semoga keadaan itu mampu kita pahami dan ambil makna didalamnya. Bagaimana sesuap nasi sangat berharga, kenapa segelas air begitu berguna. Agar kesombongan mampu sedikit demi sedikit tergerus dan ahirnya akan terhapus disetiap hati manusia.

Tak terasa hari mulai sore. Kembali kita mempacking semua barang bawaan dan membawa sampah yang kita timbulkan. Kami turun. Formasi sedikit berubah karena aku tau mereka pasti sudah mengerti medan yang akan dilalui, aku didepan sendiri. Di bawah Batu Tulis aku berhenti dan memandang kearah lereng di depanku bersama Adi, Gibran, dan Legina. Melihat hamparan padang Edelweiss dan kejenakaan mereka menuruni bukit menuju lembah. Sangat aku nikmati suasana kala itu. Hingga ada bait-bait yang tercipta ditengahnya didampingi nyanyian syahdu juga musikalisasi puisi milik Soe Hok Gie.

Ketika punggungan itu membuatku menengadah
Memandang lebih dari biasanya
Ditengah lunglai dan dikala redup mataku
Entah kenapa sukma ini bergetar akan keluguan juga kepolosan
Meski tak mendekapmu kala dingin menusuk menyayat
Kendati tanganku tak merengkuh jemarimu saat kau terpuruk
Kau harus tau...
Meski kita baru sama-sama tau, sama-sama mengerti
Ketika aku bercerita pada beku sang bayu dan semilirnya
Bahwa lembah yang aku jejaki tak pernah berbohong
Batu tempatku bersandar tak pernah menghindar
Bahwa sekali lagi aku rasakan
Harusnya kau sadar aku menatapmu berbeda
Lebih dari yang lain
Sebenarnya kau mengerti
Saat mentari pecah di garis cakrawala
Dia datang untuk menyampaikan segalanya
Semua yang aku adukan masa senja terjerembab
Aku hanya tertunduk...
Ketika wangi bunga abadi semerbak tak mereka kenali
Saat belaian mesra nyanyian syahdu beku sang bayu
Merenggut mimpi dalam tidurmu
Semoga mereka tau tentang cintaku kepada alam
Bagaimana caranya memperlakukan kita dengan baik
Ternyata satu rasa bisa bersemi dikala damai menerpa jiwa yang lelah
Kau mengerti jika kau memahami tentang bahasaku
Dan tentang bait-bait yang mengalir sealur dengan jalanan setapak sang giri
Kesombongan...
Keangkuhan...
Dan kerendahan hati lebih aku rasakan
Lebih dari kalian yang hanya menggigil kedinginan
Jauh dari mereka yang terlelap dalam lunglai
Lihatlah aku masih terjaga
Maka kau akan mengenaliku seutuhnya dalam dawai alunan bernada tanpa sumbang

Heri Harto Sembodo

Nah, begitulah yang sempat aku pikirkan. Sangat tenang saat itu melihat kabut yang mulai turun perlahan menyusuri lembah. Setelah semua anggota terkumpul kita sempat berfoto kembali dan diedit oleh Fuji.

Gambar : Ini dia hasil editan Fuji

Setelah puas berfoto dan beristirahat menikmati suasana. Kami turun menuju Basecame dan sesekali berpapasan dengan pendaki lain. Aku dan Adi berada diposisi paling belakang dan sempat tertinggal lumayan jauh karena sholat ashar terlebih dahulu ditengah perjalanan. Tetapi, kami bersama lagi di pos 1 hingga Basecame. Kami sampai di  puncak dengan waktu standar 6,5 jam dan turun Basecame hanya sekitar 4 jam.

Karena perjalanan dari Basecame sampai Purwokerto  memakan waktu yang tidak sedikit. Mereka putuskan untuk menginap semalam di Basecame. Apalagi hari sudah beranjak malam. Tapi, aku sendiri harus kembali ke Solo malam itu juga karena ada kuliah pagi. Melihat teman-teman kedinginan dan satu –persatu mulai tidur. Aku tinggal saja Sleeping Bagku untuk mereka gunakan. Ahir cerita aku kembali berjalan menuruni perkebunan menuju tempat parkir kendaraan pada pukul 20:00 WIB dan sampai di Solo pukul 21:45 WIB.

Sekian untuk catatan pendakian kali ini yang berjudul Semangat Menggebu  disepanjang Jalur Pendakian Gunung Merbabu
Salam Rimba.  []H2S[]



Demikianlah Artikel Semangat Menggebu diSepanjang Jalur Pendakian Gunung Merbabu, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Semangat Menggebu diSepanjang Jalur Pendakian Gunung Merbabu ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Semangat Menggebu diSepanjang Jalur Pendakian Gunung Merbabu ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.

Back To Top
close