Info Budidaya Terpadu 2019

Jalur Pendakian Gunung Sumbing – Pendakian Menuju Pusara Semu Kyai Makukuan

Jalur Pendakian Gunung Sumbing – Pendakian Menuju Pusara Semu Kyai Makukuan - Selamat datang di blog BUDIDAYA !!, Info kali ini adalah tentang Jalur Pendakian Gunung Sumbing – Pendakian Menuju Pusara Semu Kyai Makukuan !! Semoga tulisan singkat dengan kategori JALUR PENDAKIAN !! PENDAKIAN !! ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Jalur Pendakian Gunung Sumbing – Pendakian Menuju Pusara Semu Kyai Makukuan ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->


Jalur pendakian Gunung Sumbing


Salam rimba...!
 
Salam kawan Pecinta Kaldera. Kali ini Pecinta Kaldera akan memberikan posting tentang  Jalur Pendakian Gunung Sumbing-Pendakian Menuju Pusara Kyai Makukuan. Sebelumnya Pecinta Kaldera sudah memberikan posting tentang Jalur Pendakian Gunung Merapi - Pendakian Spontan Mencari Ketenangan diGersangnya Pasar Bubrah.

Sekilas tentang gunung Sumbing.

Gunung Sumbing adalah gunung api yang terletak di Pulau Jawa, Indonesia. Tepatnya berada di Propinsi Jawa Tengah. Gunung ini memiliki ketinggian 3371M DPL. Gunung Sumbing terletak di tiga kabupaten. Yaitu Kabupaten Magelang, Temanggung, dan Kabupaten Wonosobo. Gunung Sumbing terletak di koordinat 7˚23’02”LS 110˚04’12”BT/7,384˚LS 110,07˚BT.Letusan terahir terjadi pada tahun 1730. Gunung Sumbing memiliki kawah yang masih aktif atau bisa disebut gunung Stratovolcano.

Gunung Sumbing memiliki kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp atas, hutan Montane, hutan Ericaceous atau hutan gunung. Sebagian lereng gunung ini telah digunakan untuk lahan pertanian.

Langsung saja kita simak artikel tentang Jalur Pendakian Gunung Sumbing dibawah ini.

Siang itu panas terus menguras semua cairan tubuh yang ada. Sedikit saja sisa tenaga dari pendakian tadi malam pendakian gunung Merapi. Kami berdua bersama Gunawan seorang Puja Kesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Kami berangkat hari rabu dan turun hari jum’at. Panas, gersang, dan lelah yang aku rasakan masih begitu nyata. Tapi terngiang jauh didalam hati. Tentang pendakian selanjutnya bersama orang-orang yang memiliki semangat menggebu.

Sebelumnya aku tidak yakin akan pendakian selanjutnya yang akan aku lakukan bersama belasan orang-orang dengan semangat menggebu, putra-putri UMP (Universitas Muhammadiyah Purwokerto). Itu karena berbagai alasan yang sangat nyata adanya. Alasan-alasan yang sangat logis untuk membatalkan suatu pendakian. Seperti kesiapan fisik, biaya perjalanan, dan logistik.

Biar aku jelaskan secara rinci bagaimana alasan-alasan yang membuatku sedikit goyah.
  •        Pertama, alasan fisik.
Bermalam selama dua hari di Pasar Bubrah bukan hal yang mudah. Suasana yang gersang dan panas terus menguras energi yang ada. Apalagi suhu siang dan malam hari yang sangat jauh berbeda membuat fisik harus selalu menyesuaikan diri. Mungkin jika badanku berbahan dasar plastik sudah menjadi serbuk akibat tertempa cuaca yang tak menentu.
  •         Kedua, alasan biaya pendakian.
Mendaki gunung sangat memerlukan dana yang cukup untuk berpindah dari satu gunung ke gunung lainnya. Kecuali, kita mau menjadi seorang walker sejati. Hanya bermodalkan langkah kaki kemanapun kita pergi. Itu pasti sangat melelahkan. Bisa dibanyangkan aku berangkat bermodalkan uang Rp. 5000 dari kota Solo menuju Wonosobo.
  •         Ketiga, alasan logistik.

Logistik adalah hal terpenting dalam suatu kehidupan. Selama kita hidup di dunia nyata ini, pasti kita membutuhkan apa yang dinamakan logistik. Apalagi kita sedang berbicara soal mendaki gunung. Salah satu kegiatan yang menguras banyak energi. Jadi, mau tidak mau kita juga memerlukan asupan gizi yang harusnya bisa lebih dari hari-hari biasanya. Kecuali kita seorang survivor yang handal dan tahan banting.
 
Langsung saja kita simak trip kedua bersama orang-orang dengan semangat menggebu berikut ini.

Setelah sebelumnya aku menulis posting tentang Semangat Menggebu di Sepanjang Jalur Pendakian GunungMerbabu. Kali ini aku akan memberikan posting tentang pendakian gunung lainnya. Beberapa hal mungkin masih sama dengan pendakian sebelumnya. Hanya beberapa saja perbedaan yang terjadi. Salah satunya bertambahnya anggota menjadi 16 personil. Hanya Suhri yang tidak ikut ambil bagian dipendakian kali ini. Dan hal yang masih sama adalah aku datang seorang diri dari kota kediaman Pakubuwono. Hanya bermodalkan niat dan tekad yang tetap sama sebelum melakukan perjalanan. Satu yang ingin aku ucapkan “terima kasih Tuhan telah Engkau titipkan selembar uang Rp. 5000 untukku”.



Aku berangkat Sabtu, 20 September 2014 sekitar pukul 09:30 WIB bersama dengan ‘si hitam’. Si hitam adalah kuda besi bersilinder 160 cc yang selalu setia mengantarku kemanapun aku ingin pergi. Namun, naasnya ditengah perjalanan kaki ‘si hitam’ meletus. Untungnya ketika kaki ‘si hitam’ robek akibat sayatan panas sang aspal, kami sudah sampai di Yogyakarta,  kota Sri Sultan Hamengkubuono. Temanku sudah menunggu sejak pagi. Menanti kedatanganku dengan sedikit gusar. Langsung saja aku berhenti di depan UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), tempat biasa aku menunggunya. Meski hanya satu jam perjalanan antara Solo-Yogyakarta, aku tak lantas sering-sering main ke kota Gudeg tersebut. Jadi, aku kurang paham dengan jalanan kota Yogyakarta. Lumayan lama aku berdiri menahan pening dikepala akibat kesialan-kesialan yang menimpaku. Tapi, tak lama berselang ada sosok apatis, santai, dan pastinya tampan mendekatiku perlahan. Hehehe. Langsung saja jabat tangan begitu hangat kami praktekan seperti biasanya. Jabat tangan kawan lama yang selalu hangat dan selalu baru dalam setiap pertemuan. Hal itu mengobati rasa gundahku. Mengobati pilu karena problema yang ditimbulkan selembar kertas bernominal dan bercorak sebagai pengganti sistem barter. Hatiku seakan berkata “tak apa miskin jajaran uang kertas asalkan masih ada banyak orang yang berteman menggunakan aku (hati)”. Ya, begitulah caraku menikmati hidup yang lebih sering membuat sendu ketimbang riang.



 
Perjalanan berlanjut menyusuri jalanan ramai kota Jogja dan padatnya jalanan kecil kota itu. Karena alasan minimnya waktu dan uang, kami mengganti opsi transportasi menuju Wonosobo dengan menaiki bus saja. Kami titipkan ‘si hitam’ disalah satu kos temanku dalam keadaan pincang. Maaf teman aku sedikit eois dan menelantarkanmu sebatang kara. Selanjutnya kami berboncengan menuju kos teman tampanku menggunakan motornya menuju salah satu gang dekat UPN. Sesampainya disana kami lantas mempacking barang bawaan dan bertransaksi sepasang sandal gunung dengan uang sebesar Rp. 75.000. Memang bukan nominal yang cukup besar. Tapi, itu lebih dari cukup untuk bersyukur atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya. Waktu terus bergulir seiring denting jam yang memaksa kami untuk cepat-cepat menyelesaikan semua persiapan.

Ahirnya selepas sholat dhuhur kami putuskan untuk berangkat menuju salah satu terminal di Yogyakarta. Sebelumnya kami berputar-putar mencari tempat persewaan barang outdoor. Kami berniat menyewa nesting untuk melengkapi peralatan mendaki kami. Tapi, sialnya tak ada satupun stok tersedia disetiap tempat persewaan barang outdoor. Mungkin karena hari itu adalah ahir pekan. Jadi, kebanyakan barang yang disewakan sold out. Sebenarnya bisa saja aku bawa nesting dari Solo. Hanya saja nesting ynang ada dibawa oleh salah satu teman mendaki gunung Merbabu . Mau tidak mau aku harus menyewanya sendiri. Tapi, aku pikir tanpa nesting aku masih bisa memasak dan makan.

Aku sedikit lega ketika Adi menghubungi kami kalau dia membawa panci dari rumah. Aku sedikit kaget ketika Adi memberi kabar kalau dia tetap akan bergabung dengan kami untuk mendaki gunung Sumbing. Pasalnya jauh-jauh hari ia mengatakan kalau dia akan mendaki gunung Prau. Itu adalah kabar baik untuk kami berdua atau mungkin kabar baik bagi semua anggota.

Pukul 12:30 WIB kami berdua berangkat dari terminal Jombor, Yogyakarta. Kami menaiki bus jurusan semarang dan berhenti di Magelang. Mungkin Tuhan menginginkan agar kami berlaku adil. Karena teman-teman yang berangkat dari Purwokerto juga menaiki bus menuju Wonosobo. Bus yang kami naiki sangat nyaman?. Karena tanpa AC dan berjubal penuh sesak oleh penumpang.

Sesampainya di Magelang lekas kami turun dan mencari bus jurusan Wonosobo. Aku tidak kebagian tempat duduk dan harus berdiri menunggu tempat duduk kosong. Ketika perjalanan sampai di Parakan, barulah aku bisa duduk dengan tenang menikmati jalanan berkelok dan panorama dua Gunung Sindoro dan Sumbing. Hanya butuh waktu setenganh jam saja kami sampai di Rest Area Kledung. Kami sengaja berhenti disitu karena Adi aku suruh menunggu disana.

     1. Basecame Garung, Wonosobo.

Basecamp Gunung Sumbing
 
Perut yang lapar karena dari pagi belum terisi makanan memaksaku berjalan menuju salah satu warung makan dipinggirjalan. Soto ayam menjadi sajian lezat penuh lemak ditemani secangkir kopi dan segelas teh hangat. Sambil menunggu Adi datang kami mengisi perut dengan lahapnya. Tak lama berselang nampak sosok laki-laki santun dengan jenggot sedikit memanjang dari waktu terahir aku bertemu dengannya. Ya, dialah Nur Adi Wibowo. Kami berdua sengaja diam dan pura-pura tidak melihat kedatangan Adi. Dengan sedikit menahan tawa. Tapi, jebol juga ahirnya pertahanan kami untuk sok tidak kenal. Kembali kita saling bersalaman dan menambah hangatnya suasana yang ada. “Uwis mangan rung wa?” (udah makan belum wa?) sapaku kepadanya. “Uwis wa” (udah wa) katanya sambil menyomot kopiku dan menyeruputnya. Selanjutnya kami mengobrol dan sedikit bernostalgia. Masih seperti pendakian sebelumnya aku terlambat beberapa jam dari rencana awal pendakian. Padahal aku membawa barang pesanan seseorang yang akan digunakan untuk mendaki. Tapi, apa daya keterlambatan ini bukan keinginanku. Hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan “maaf”.

Selesai makan kami membeli logistik untuk bekal pendakian. Sebelumnya aku sempat berhutang kepada Adi untuk berjaga-jaga jikalau uangku tidak cukup. Kami menuju basecamp pendakian gunung Sumbing didesa Garung Wonosobo. Gapura megah dipinggir jalan sebelum jalan menurun kearah Kretek menyambut dengan gagahnya. Jalan menuju Basecamp terbuat dari aspal dan ketika hendak sampai, jajaran bebatuan yang tertata rapi menjadi trek yang harus dilewati. Kami menggunakan jasa ojek Adi untuk menuju ke Basecamp. Hehehe. Sesampainya di Basecamp kami lantas mengisi botol-botol kosong, membayar retribusi kepada pihak Basecamp, dan mempacking ulang barang bawaan seperti biasanya.Ketiga belas teman kami sudah berangkat lebih dahulu pada pukul 16:00 WIB.

2.      2.  Pos 1 KM III Gunung Sumbing.

Pos 1 Malim disiang hari
Selepas maghrib kami putuskan untuk menyusul mereka memulai pendakian dari basecamp. Kira-kira kami berangkat sekitar pukul 18:30 WIB. Langkah-langkah awal terasa biasa saja karena jalan yang dilalui adalah jalanan kampung yang datar. Tapi, itu tak bertahan lama karena jalan yang selanjutnya langsung menanjak drastis. Kami sengaja mengambil jalaur lama karena lebih dekat dan tidak melewati jalanan berbatu. Nafas kian memburu dan mulai ada jarak antara kami bertiga. Sesekali aku menengok kebelakang dan memastikan temanku baik-baik saja. Adi sendiri berjalan diposisi paling depan. Sekitar 25 menit kami kembali menemui jalanan berbatu yang kanan kirinya terdapat perkebunan warga. Perkebunan yang didominasi pohon tembakau. Kami istirahat sejenak diujung persimpangan tersebut kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pos 1. Sesampainya di Pos 1 kami terus saja berjalan karena kami lihat sudah ada rombongan yang terlebih dahulu menempatinya. Pos 1 sendiri berada di KM III.

3.      3.  Pos 2 KM IV Bukit Genus.

Pos 2 Bukit Genus
Kami melanjutkan pendakian menuju pos 2. Jalanan yang kami lalui semakin menanjak dan berdebu sehingga mulut terasa lebih kering dan cepat lelah. Kami kembali beristirahat didaerah Pencit Engkrak yaitu daerah sebelum mencapai Bukit Genus. Membuka kembali air minum diselingi beberapa celotehan dan obrolan khas pendakian. Sedangkan untuk aku sendiri ‘sebatbut’ (sebatang cabut). Setelah beberapa menit tubuh kembali dingin dan kami putuskan untuk berjalan kembali menuju Pos 2 Bukit Genus di KM IV. Kami sempat beristirahat lagi sebelum melewati Engkol-Engkolan dengan kemiringan diatas 60˚. Kami sengaja berhenti untuk menunggu rombongan di depan kami jalan terlebih dahulu. Selain untuk mengurangi resiko kecelakaan, hal itu juga dapat mengurangi kepulan debu yang dihasilkan dari hentakan kaki.

Orang-orang dengan semangat menggebu sedang beristirahat di Pos 2
Setelah kami rasa ada jeda yang lumayan jauh kami lantas melanjutkan perjalanan menuju Pos 3. Berjalan dengan pelan dan badan condong kedepan adalah salah satu trik agar badan tetap seimbang meski membawa beban berat. Langkah demi langkah terus sabar menjemput lahan datar Pos 3. Ditengah perjalanan kami bertiga mendengar suara-suara yang tidak asing lagi ditelinga. Sepertinya itu rombongan kami dari Purwokerto. Benar saja mereka adalah rombongan kami yang berangkat terlebih dahulu. Aku mencoba mendekati mereka dengan sedikit canda tawa dan saling menyapa satu sama lain.

    
    
           4.  Pos 3 KM V Sedelupuk Roto.


Tak lama kemuadian kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 3 yang tinggal beberapa ratus meter saja. Aku berada diposisi paling belakang dari rombongan. Di ujung jalan menanjak sudah terpampang lahan datar Pos 3 KM V Sedelupuk Roto. Ketika kami sampai Pos 3, banyak yang sudah mendirikan tenda disana. Sepertinya rombongan kami sedikit terlambat sampai Pos 3. Kami harus cepat-cepat mencari lapak dan mendirikan tenda. Kalau tidak ingin bermalam diluar tenda karena kehabisan lapak. Dengan sergap anggota laki-laki mendirikan tenda melipir jalur pendakian. Memanfaatkan lahan yang tersisa. Tiga dome kapasitas 4 orang dan 1 dome kapasitas 2 orang kami dirikan.

Angin yang berhembus kencang menghambat proses mendirikan tenda. Apalagi sebagian anggota perempuan mulai merasa kedinginan karena kencangnya hembusan angin. Kami harus berjuang  keras mendirikan tenda ketika rengkuhan angin dingin, lelah, dan rasa kantuk menerpa. Memang cukup lama kami mendirikan tenda. Tetapi, kami berhasil mendirikan semua tenda yang kami bawa. Lekas anggota wanita kami suruh untuk menempati tenda yang sudah siap huni. Sedangkan anggota laki-laki bergotong-royong memasukkan barang bawaan kedalam dome.
Hari semakin larut dan angin masih terus berhembus kencang. Memang pada bulan juli-september biasa terjadi hembusan angin cukup kencang di gunung Sumbing. Hampir semua anggota telah tidur di tenda masing-masing. Tinggal menyisakan aku dan Adi saja yang sedang asik menikmati 2 cangkir kopi. Tiba-tiba ada seseorang yang mendekati kami berdua. “Misi mas. Numpang duduk ya” dia menyapa sembari bersila didepan kami. “Oh iya, mari mas ini juga ada kopi” aku menawarkan kopi untuknya. Tapi, dia membalas perkataanku dengan sopan “terima kasih mas, gampang dah nanti”.

Aku perhatikan wajahnya seperti bukan wajah oriental. Hidungnya yang mancung dengan rambut sedikit pirang  membuatku bertanya padanya “mas indo ya?”. Dia malah bertanya balik “iya, apa mas?”. “Mas ini blasteran?” aku memperjelas pertanyaanku. “Hehe, iya mas”. “Blasteran mana?” aku penasaran. “Bapak asli Italia, kalau ibu asli orang Jakarta mas” dia berusaha menjelaskan asal-usulnya. “Wih, keren tuh mas. Udah pernah naik Alpen belum mas?” aku tanya lagi. “Durung mas” (belum mas) jawabnya menggunakan bahasa Jawa. “Nah loh, kok bisa bahasa Jawa mas?!” aku sedikit kaget. “ Iya aku domisili di Yogyakarta mas. Tapi, kerja di Bali” jelasnya lagi. “Ini orang kok kaya lotek ya? hehehe” gumamku dalam hati. Karena obrolan yang semakin menghangat, ahirnya orang itu meminum juga kopi yang mulai dingin.

Obroalan kami terus berlanjut hingga pukul 02:30 WIB sebelum blasteran Italia itu kembali ke tendanya. Sebenarnya dia memperkenalkan diri. Tapi, aku lupa namanya siapa. Yang pasti namanya sangat Italia sekali. Sesudah orang itu pergi, masih banyak pendaki lain yang terus berdatangan. Kasihan mereka. Sebagian besar tidak mendapat lapak untuk mendirikan tenda.

Debur angin membawa butiran debu masih terus berlanjut. Dingin menusuk menyakiti suhu tubuh yang normal. Tapi, diluar jauh diatas langit bertabur bintang. Didepan terpampang bayang-bayang hitam Gunung Sindoro. Serta kerlap-kerlip lampu perkotaan seperti kerumunan kunang kunang bertaburan dihamparan lembah. Bahkan sesekali kilatan bintang menari melukis sementara langit dini hari. Sangat indah kala itu. Mendamaikan meski hati gundah.Penuh ketenangan walau angin ribut dan teriakan-teriakan sesekali terdengar. Sayang sekali apabila melewatkan momen yang sangat berharga tersebut.

Ahirnya semakin lama dan tanpa sadar aku mulai mengalah dengan dingin dan rasa kantuk, tertidur. Meskipun tertidur aku sesekali terbangun dan mendengarkan suara angin yang masih tetap ribut. Sama sekali tidak bisa tidur dengan nyenyak. Aku sendiri berada satu tenda dengan 4 orang laki-laki, Gibran, Rio, Adi, dan satu temanku. Rio adalah teman baru yang berpawakan tinggi tegap mirip Raden Janoko. Kulitnya putih dan bermimik kalem. Mungkin dia lebih banyak diam karena tak tau bagaimana memulai obrolan. Yang jelas dia tetap mencoba membuat suasana tetap terasa asik dan menyenangkan dengan mengikuti alur yang ada.
 Satu tenda kapasitas 4 orang lainnya juga diisi oleh 5 orang, Awal, Arif, Ari, Parkit, dan Rihan. Parkit dan Rihan juga teman baru. Rihan berpawakan mungil. Namun, tetap saja badannya lebih berisi dariku. Kacamata melengkapi matanya yang hitam dengan sedikit jenggot tumbuh di dagunya. Aku melihat seorang Suhri didalam dirinya. Meski secara fisik Rihan dan Suhri tak begitu mirip. Kemudian satu lagi teman baru yang juga mengenakan kacamata berkacamata transparan. Tapi, entah lensa cekung atau cembung yang ia gunakan. Badannya kurus, lebih tinggi, dan  pastinya masih lebih berisi dia dibandingkan aku. Pemuda dengan kulit sawo matang dengan rambut sedikit ikal itu suka sekali tertawa. Mungkin dia terlalu bahagia menikmati suasana yang ada?. Aku lihat dia begitu menikmati perjalanan meskipun sedikit apatis terhadap teman lainnya.

Dua tenda lainnya menjadi tempat bersemayam peri malam. Ale, Legina, dan Lia menempati tenda yang berkapasitas maksimal 3 orang. Sedangkan satu tenda lagi dihuni Dania, Puji, dan Siti. Ya, Siti adalah teman baru terahir yang ikut bergabung dipendakian kali ini. Kulit sawo matang dan fisik yang lumayan kekar untuk ukuran seorang wanita membuatnya terkesan tomboy. Namun, dibalik itu semua. Sepertinya dia sedikit pemalu terhadap orang-orang yang baru dia kenal. Itu semua menambah warna-warni pendakian kali ini. Enjoy aja lagi...

Tak terasa pagi mulai hadir memanggil sang mentari memecah malam. Membuat siratan segaris cakrawala. Awan putih bergumul dibawah bagai samudera awan. Tapi, bagiku lebih mirip kapas randu kering. Kapan saja bisa menghilang tersapu angin. Apapun itu, tetap indah dan tetap luar biasa. Meski alam semesta sangatlah indah. Tapi, semua itu tak lebih baik dari seorang manusia. Tanya kenapa? Karena manusia diciptakan sebagai khalifah. Tugas mulia yang alam semesta sekalipun tidak bisa mengembannya. Maka berbahagialah, bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan kepada kita.

Alam memang indah, cantik, dan luar biasa. Tapi, satu manusia lebih berharga darinya. Dengan sempurnanya manusia kita tidak boleh sombong. Kita hanya perlu mencintai dan menjaga image tersebut. Salah satunya dengan menjaga alam yang telah Tuhan Berikan. Tidak hanya datang untuk menikmati lalu pergi meninggalkan kerusakan. Lalu apa yang akan anak cucu kita lihat dikemudian hari?. Bagaimana kita menjawab ketika yang ada hanyalah lahan gersang dan tanah penuh erosi?. Jagalah !.

Kalau boleh aku ingin menyelipkan kalimat-kalimat yang membentuk beberapa bait.

Diantara terjaga atau terlelap
Masih kulihat lukisan alam membentang memenuhi pandang
Selalu haru begitu lugu manusia-Mu
Tak begitu dapat memerik apa yang netra terka
Itu bukan berisik angin
Hanya desik stepa
Ini lain dari dingin sekedar rasa pudar
Kita wajar
Kita kekar
Jangan gusar karena halilintar
Tak usah gundah karena semangatmu adalah darah
Kendati sabar tetap tegar
Tanpa kesombongan dan keangkuhan
Kenapa manusia selalu bertanya kenapa insan?
Risaukah dengan anugerah?
Jangan kufur hingga alpamu uzur
Bagi mereka yang tersenyum sukur
Atau mereka cenderung kufur
Kita hanya perlu sadar menikmati semerbak sekar
Jangan berdiri lalu berlari
Menjauhi karib ataupun tanah kandung
Kita hanyalah kita yang akan selalu berjalan
Menggoreskan jejak ditanah berdebu
Mengambil gambar dibawah langit biru
Lalu menjaga apa yang kita cinta
Begitu saja
Ya begitu saja

Terlepas dari itu semua salah satu anggota perempuan membuatku panik ketika hari mulai pagi. “Mas ! Dania kedinginan . Badannya menggigil terus Mas!” teriak Egi. Mereka sedikit ribut karena ada yang kedinginan hebat, mungkin hipotermia. Aku lekas keluar tenda dan menyuruh Egi untuk memakai Sleeping Bag beberapa menit tanpa mengenakan jaket. Alangkah baiknya kalau langsung bersentuhan dengan kulit. Kemudian setelah itu SB yang sudah digunakan Egi itu diberikan kepada Dania yang sedang mengalami kedinginan. Setauku ada beberapa cara selain menggunakan SB yang telah digunakan selain orang yang terkena hipotermi tersebut. Yaitu dengan cara memeluk si korban secara bersama-sama dan memberikan air hangat untuk diminumkan. Hal itu bertujuan untuk menstabilkan suhu tubuh si korban.

Hanya berselang beberapa saat saja Dania sudah kembali normal. Entah dia benar-benar terkena hipotermia atau tidak. Yang pasti penanganan cepat lebih baik dilakukan untuk pencegahan. Aku kembali lagi masuk ke dalam dome untuk memasak air. Dania dan beberapa anggota lain juga sempat menghangatkan badan disekitar kompor. Air yang aku masak mereka gunakan untuk menyeduh susu, kopi, dan ada juga yang menyeduh sereal.

Kesalahan terbesar adalah ketika mereka memutuskan summit pada waktu itu juga. Perjalanan dari Camp menuju puncak masih 2 KM lagi dengan medan yang menanjak dan tergolong berat. Memang benar waktu summit paling ideal adalah bada’ subuh atau sekitar pukul 05:00 WIB. Tetapi, jatah tidur yang masih kurang ditambah lagi energi yang terkuras sewaktu menuju Camp semalam belum terbayar oleh sarapan. Hal itu pasti akan menghambat perjalanan menuju puncak. Sehingga kata-kata “summit...! , summit...! , summit...!” sengaja tidak aku praktekkan. Aku bermaksud membiarkan mereka beristirahat dengan porsi yang cukup.

   5. Pasar Watu.


Puji dan Lia di Pasar Watu
Aku, Adi, dan satu temanku berangkat paling ahir. Kami sempatkan menikmati minuman hangat terlebih dahulu. Kami bertiga masing-masing membawa satu botol air minum. Karena kami tau mereka yang sudah summit attack terlebih dahulu tidak membawa bekal air minum dan makanan yang memadai. Benar saja baru saja kami sampai diatas Pestan kami dapati satu orang pendaki Roker (Dania) dan Arif yang sedang menjadi juru fotonya sedang asik menikmati pemandangan yang ada. “Yang lain mana?” aku bertanya kepada mereka. “Ga tau mas” Dania menjawabnya. Aku, Adi, dan satu temanku juga menyempatkan berfoto dengan gaya-gaya kocak dengan background gunung Sindoro. “Ayo lanjut jalan lagi?” aku mengajak Arif dan Dania melanjutkan perjalanan. “Aku mau foto-foto dulu mas. Kalian duluan aja, kita mau menikmati suasana dulu” tukas Dania. “Yaudah aku duluan ya” kami bertiga melanjutkan perjalanan menuju puncak. Sengaja aku tinggal Dania dan Arif karena kondisi fisik Dania tidak dalam performa yang prima. Dania memaksakan diri tetap mengikuti pendakian walaupun belum pulih seutuhnya setelah sakit. Memang keliru membiarkan dia tetap ikut. Tapi, aku tau kalau mereka adalah ahli obat dan ramuan-ramuan rahasia lainnya. Hahaha.

Hamparan samudera awan dilihat dari Pasar Watu
Aku melanjutkan perjalanan dengan langkah pasti dan elastis. Di Pasar Watu kami bertemu dengan Ari, Ale, Gibran, Puji, Rihan, dan Lia. Mereka sedang beristirahat disana. Kali ini aku hanya menyapa mereka. Sedangkan Adi dan satu temanku tetap tinggal bersama mereka. Aku berjalan dahulu dan berhenti disalah satu trek bebatuan yang lumayan curam. Disana ada dua orang perempuan strong Siti dan Legina. Setelah melihatku mereka berdua lantas cepat-cepat mengambil langkah seribu untuk melanjutkan summit attack. Aku hanya tertawa melihat semangat mereka berdua. “Ah, curang kamu Mas...!” kata Egi sambil berdiri dan mulai berjalan. Aku sengaja berhenti kalau-kalau anggota dibelakangku membutuhkan air minum dan sedikit bantuan menaiki rute berbatu tersebut. Ahirnya satu persatu anggota mulai nampak batang hidungnya.

5.     6.  Watu Kotak KM VI.

 
Jalan menuju Watu Kotak
Orang pertama yang terlihat adalah Adi dengan topi hitam lusuh dan kemeja panjang kotak-kotak dan Gibran dengan membawa daypack dipunggungnya. “Ayo wa lanjut” dia memintaku ikut. “ Ngko wa ngenteni bocahan. Rika disit bae ngana” (nanti wa nungguin anak-anak. Kamu duluan aja sana) aku memintanya berjalan dahulu. Kemudian tak berapa lama Rihan dan Ari menyusul dibelakangnya. Mereka sempat berhenti dan minum air yang aku letakkan diparit. Tak lama mereka beristirahat kemudian melanjutkan perjalanan menuju puncak.


Masih ada lima orang lagi yang belum nampak batang hidungnya. Tapi, itu tak bertahan lama setelah Puji, Ale, dan salah satu temanku berada sejalur kearahku. Mereka satu persatu menaiki medan berbatu tersebut dan sempat aku bantu si Puji. Sangat terlihat kalau dia mulai kelelahan dan energinya mulai habis. “Dania sama Arif mana?” aku menanyakan kepada mereka. “Ga tau mas, kayanya mereka ga naik deh” jawab Puji dengan sedikit tersengal karena nafasnya masih belum beraturan. “Oh yaudah. Coba kita tungguin bentar kali aja mereka lagi jalan” aku mencoba memberikan saran.

Watu Kotak tampak dari jauh
Agak lama kami menunggu kedua teman kami itu. Tetapi, mereka berdua tak kunjung datang. Ahirnya, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa menunggu lagi. Karena sebelumnya mereka mengatakan kalau hanya stay dibawah Pasar Watu untuk berfoto kemudian turun lagi menuju camp. Kami berempat melanjutkan perjalanan menuju puncak dengan berat. Puji yang sudah kelelahan berjalan sangat lamban dan sering sekali beristirah. Tapi, kami tetap naik berjalan terus menuju puncak. Air minum yang aku bawa semakin menipis dan nyaris habis. Karena satu botol ukuran 1,5 liter kami gunakan untuk 7 orang.

Aku dan satu temanku terus menyemangati Puji agar terus berjalan dan semangat. Sesekali aku juga memberikan pengarahan kepadanya agar mengatur nafas.  Setelah kami sampai di Watu Kotak KM VI kami beristirahat cukup lama dan bertemu lagi dengan Adi, Gibran, dan Lia. Sebenarnya ada tempat untuk mendirikan Camp disana. Tetapi hanya muat untuk beberapa tenda saja. Mereka kembali berjalan lagi dalam satu rombongan kecil. Ari mencoba menitih langkah Puji dengan menggandeng tangannya. Cara itu lumayan efektif. Terbukti dengan perjalanan yang lebih cepat dari sebelumnya.

  7. Tanah Putih.

Bersantai di Tanah Putih

Terus berjalan dan memberikan dorongan adalah satu-satunya yang bisa aku lakukan. Hingga pada ahirnya kami bertemu jalan landai, Tanah Putih. Disana Adi, Lia, Ale, Ari, Gibran, Rihan, Puji, Aku, dan satu temanku berhenti untuk beristirahat. Kita bersiap-siap untuk menapaki tanjakan terahir sebelum puncak. Setelah semua siap kami berjalan kembali. Berjuang menuju Puncak Buntu gunung Sumbing.

  8. Puncak Buntu.

Narsis di Puncak Buntu

Kembali anggota terpecah menjadi beberapa kelompok kecil. Ari sesekali meminta air kepada pendaki lain yang turun. Ada satu rombongan yang salah satunya adalah seorang ibu paruh baya berusia kepala lima. Beliau sempat memberi kacang goreng dan sedikit air minum. Kami kembali berjalan dan kami kembali meminta logistik kepada pendaki yang turun. Kali ini kami mendapatkan 2 bungkus mie instan. Selanjutnya Ari berjalan didepan dan menyisakan 3 orang saja (Aku, Puji, dan satu temanku). Kami berjalan dengan penuh canda tawa untuk menghilangkan rasa lelah yang ada. Kami terus menyemangati Puji yang sebenarnya sudah sangat down. Itu menjadi bahan celotehan dua orang koplak yang membuat Puji terus melangkah sampai Puncak. “Maaf mas, ada sisa makanan atau air minum ga? Kasian temen cewek kita ini kelaparan mas. Dari tadi pagi belum makan” dengan wajah memelas aku meminta logistik pada mereka. “Iya mas, kasian tuh wajahnya aja udah pucet banget” tambah satu temanku. Ahirnya tiga pendaki berinisial D.I.A  memberi kami beberapa keping biscuit dan seperempat botol air minum. Mereka adalah pendaki asal Temanggung. Kami terus bercanda sampai ahirnya kami berdiri di Puncak Buntu.

Dari Puncak Buntu kita bisa melihat pemandangan yang sangat indah dan mengagumkan. Kecuali kalau cuaca sedang tak menentu. Kita Bisa melihat beberapa gunung lain seperti Gunung Slamet, Gunung Prau, Gunung Sindoro, dan Gunung Ungaran sekalipun. Tidak ada ruginya apabila kita mendaki Gunung Sumbing.

7.     9.   Puncak Kawah KM VII.

Puncak Kawah

Aku sampai Puncak Buntu paling ahir sesudah satu temanku pada pukul 12:30 WIB. Sesampainya disana kami berfoto menggunakan  tongsis alam (sebatang kayu lurus). Hanya 5 orang saja yang tidak ikut berfoto bersama. Selagi mereka menikmati suasana puncak Aku dan Adi melanjutkan perjalanan menuju kawah. Sebelumnya kami sempat mampir di Puncak Sejati Sumbing (Puncak Kawah) untuk meletakkan plang bertuliskan “puncak”. Aku sarankan untuk tidak naik keatas Puncak tersebut. Karena medan yang sangat curam dan berada disamping tebing. Sedikit kesalahan adalah cidera parah atau bahkan kematian. Kami melanjutkan perjalanan menuju kawah Sumbing yang masih aktif. Sebenarnya aktifitas ini sangat berbahaya. Karena bisa saja kawah Sumbing  mengeluarkan gas beracun. Jadi, himbauan untuk teman-teman yang lain agar tidak meniru perilaku kami berdua. Kami hanya melakukan hal itu karena sudah menjadi tradisi kami kalau mendaki Sumbing. Tapi, tetap saja tindakan itu kurang safety. Jangan tiru adegan ini kalau tidak ingin cepat-cepat pulang kepangkuan Ilahi...!

  10. Kawah dan Makam Kyai Makukuan.

Kawah Gunung Sumbing

Selepas menuruni Puncak Kawah kami lantas menuruni jalan terjal menuju Kawah dan Makam Kyai Makukuan. Di kawah Sumbing kita bisa menjumpai kepulan asap dari air yang mendidih. Air yang ada sangat hangat bahkan panas. Sedangkan endapan dari kepulan asap tersebut menghasilkan sulfur yangmenempel di bebatuan. Tidak hanya itu, di Kaldera Gunung Sumbing kita bisa menjumpai kepunden atau replika makam Kyai Makukuan. Makam yang terbuat dari adonan demen dan dikelilingi oleh bebatuan yang tertata rapi menambah indahnya pemandangan. Makam ini sepertinya biasa digunakan untuk 'nyekar' dan ritual-ritual khusus. Itu terlihat dari lelehan kemenyan atau dupa yang ada disekitar nisan.

Makam Kyai Makukuan

Keasikan bermain-main di Kawah, kami tak sadar kalau teman-teman sudah turun menuju Camp. Kami lekas naik menuju puncak kembali. Disela-sela perjalanan menuju puncak kami kehausan karena tidak membawa bekal logistik apapun. Jadi, aku putuskan untuk memakan Cherry hutan yang ada dibibir tebing. Aku masukkan Cherry hutan merah kedalam tas hingga nyaris penuh. Setelah itu kami turun menuju Tanah Putih untuk menikmati Cherry Hutan merah tersebut pada pukul 14:15 WIB. Lumayan juga untuk memuaskan dahaga yang begitu terasa. Susah diungkapkan rasa buah ini. Yang pasti rasanya “enyak, enyak, enyak”.

Cherry hutan merah
Kami meneruskan perjalanan menuju Camp dan bertemu beberapa anggota. Mereka terlihat lebih bersemangat dan cara berjalannya pun lebih cepat dibandingkan ketika naik. Aku hanya sesekali mengajak mereka bercanda agar suasana tidak begitu kaku. Aku tetap berjalan menuju Camp tanpa henti. Karena aku tau mereka kuat dan lebih bersemangat dari sebelumnya. Awal, Parkit, Dania, Arif sudah sampai di Camp lebih dulu. Sesampanya di Camp aku lekas beristirahat dan meminum segelas kopi hitam. Satu porsi bubur instan milik Egi lumayan mengganjal perut yang lapar. Ada juga yang sedang memasak mie instan, sop, dan sereal.

Setelah semua anggota berkumpul, kami beristirahat, packing barang bawaan, dan sampah yang ada. Pukul 17:30 WIB kami memutuskan untuk turun setelah semua anggota berfoto bersama. Aku dan Adi berjalan didepan setelah melewati Pos 2. Bukannya kami sok kuat atau apa. Hanya saja pundak lebih terasa pegal apabila berjalan terlalu pelan. Jadi, kami berjalan terus tanpa henti sampai melewati Pos 1.
Didekat persimpangan antara jalan bebatuan dan jalan perkebunan penduduk kami berhenti untuk menunggu teman-teman turun. Kami isi waktu luang itu dengan memasak air dan menyeduh susu. Tak lupa makanan kecil menjadi pelengkap. Lama kami menunggu disana sampai ada beberapa rombongan pendaki lain yang lewat. Rombongan kami masih tak kunjung datang.

Tiba-tiba ada sapaan seorang gadis yang membonceng sebuah motor. “Mas Adi...!” lantang sapanya membuat pandangan kita mengikuti kecepatan laju motor yang ia boncengi. Ternyata itu Dania si “Pendaki Roker”. Ahirnya tak berselang lama Puji juga turun menaiki ojek dari Pos 1. Karena terlalu lama stay kami menjadi kedinginan.  Aku dan Adi kemudian berinisiatif untuk melanjutkan perjalanan menuju Basecame. Ya, kami meneruskan perjalanan karena kami lihat ada beberapa pasukan ojek menuju keatas.
Tak berapa lama kami berdua sampai di Pemukiman warga. Kami langsung menuju Masjid terdekat dari rute pendakian. Setelah itu kami mandi dan mengganti pakaian kami dengan pakaian yang masih bersih. Kami packing ulang barang bawaan dan meletakkan SB diposisi paling atas. Itu karena kami akan menginap lagi di Basecame. Setelah semuanya beres barulah kita berjalan menuju Basecame.

Setibanya di Basecane teman-teman sudah sampai terlebih dahulu. Kata satu temanku, mereka sudah menunggu lumayan lama. Jadi, kami berdua mohon maaf kalau sudah membuat teman-teman menunggu (lewat artikel ini). Mereka berniat untuk langsung pulang ke Purwokerto malam itu juga. Mereka harus menunggu di Jalan raya sebelum pukul 23:00 WIB. Karena bus jurusan Semarang-Purwokerto lewat pada jam itu. Mereka menuju jalan raya menggunakan mobil pengangkut tembakau dan ada pula yang menyewa jasa ojek.

Aku hanya terdiam melihat mereka pergi. Karena tak banyak yang bisa aku lakukan kala itu. Semua teman telah pergi dan menyisakan jejak-jejak didebu rute pendakian. Meninggalkan celotehan menuju puncak. Kini hanya akan ada gambar dan tulisan yang masih bisa dikenang seumur hidup. “Karena menulis adalah salah satu cara agar kita tetap dikenal meskipun kita telah mati”.

Karena kami bertiga mulai lapar. Jadi, aku dan Adi memutuskan untuk keluar ke jalan raya untuk mencari makan. Karena di Basecame yang baru tidak menyediakan makanan seperti Basecame sebelumnya. Sesampainya di Gapura desa Garung, kami berdua berhenti sejenak untuk menyapa mereka yang ternyata masih menunggu bus lewat. Aku hanya tertunduk melihat wajah-wajah lelah dengan sisa peluh yang telah mengering. Aku hanya sulit berkata ketika melihat teman-teman menekuk wajah mereka. Mata yang terlihat sayup-sayup tak kuasa menahan kantuk. Serta perut-perut yang belum terisi hingga malam hari. Tapi, bisa apa aku?

Dalam hati aku hanya berucap “dunia ini sepertinya tidak cocok untuk kalian kawan”. Itu karena aku melihat diriku didalam keadaan mereka saat itu. Membuatku tidak sampai hati. Tapi, jika kalian masih berkeinginan melihat indahnya Indonesia, aku masih siap untuk berjalan. Sekarang bukan soal apapun. Tapi, tentang sebuah pertemanan.

Kami berdua lekas mencari makan di warung-warung pinggir jalan. Selagi kami membungkus makanan dan gorengan. Bus yang sudah ditunggu dari tadi ahirnya lewat juga. Adi buru-buru menyambangi mereka dan mungkin mengucapkan selamat jalan. Karena aku belum membayar, aku tetap di warung menyelesaikan administrasi.

“Sampai jumpa lagi” adalah kalimat yang bisa aku ucapkan untuk kalian. Entah kapanpun itu. Dimanapun tempatnya pasti kita akan bertemu kembali. Walaupun tidak di sebuah perjalanan menuju Puncak. Setelah itu kami berdua kembali lagi menuju Basecame. Tepat pukul 00:00 WIB kami putuskan untuk tidur.

Pagi harinya Senin, 22 September 2014 sekitar pukul 08:30 WIB kami meninggalkan Basecame menuju tempat asal masing-masing. Adi pulang dengan motor palangnya menuju Purwokerto. Sedangkan Aku dan satu temanku kembali menaiki bus menuju kota Yogyakarta. Belum berhenti sampai disitu aku sendiri masih harus melanjutkan perjalanan menuju kota Solo seorang diri. Tepat pukul 20:30 WIB aku menyudahi perjalanan ini. Solo menyambut syahdu dengan kelamnya lampu kota.

Oh iya untuk teman-teman Purwokerto yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. “Maaf kalau satu teman yang aku bawa menyebabkan permasalahan, membebani, atau bahkan mengganggu”. Tuhidin hanya orang yang cuek dan suka bercanda. Tapi, dia bukan orang jahat yang harus kalian takuti. Dia bukan juga seorang perokok ataupun perampok. Dia hanya seorang teman. Itu saja. Selamat berjuang menapaki gunung Kehidupan yang keras dan penuh tantangan. Tapi ingat ! “Selalu ada sesuatu yang baru dalam suatu perjalanan. Meskipun itu terjadi disatu tempat yang sama”.

Sekian untuk catatan perjalanan kali ini yang berjudul Jalur Pendakian Gunung Sumbing – Pendakian Menuju Pusara Semu Kyai Makukuan. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kawan Pecinta Kaldera._ []H2S[]



Keterangan : ‘Wa’ adalah sapaan untuk kakak dari orang tua kita. Dalam hal ini hanya digunakan untuk panggilan keakraban.

Terima kasih kepada : Adi, Ale,  Ari, Arif, Awal, Dania, Gibran, Legina, Lia, Parkit, Puji, Rihan, Rio, Suci, dan Tuhidin (Satu temanku).

 
 



Demikianlah Artikel Jalur Pendakian Gunung Sumbing – Pendakian Menuju Pusara Semu Kyai Makukuan, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Jalur Pendakian Gunung Sumbing – Pendakian Menuju Pusara Semu Kyai Makukuan ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Jalur Pendakian Gunung Sumbing – Pendakian Menuju Pusara Semu Kyai Makukuan ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.

Back To Top
close